Unsur-Unsur dan Struktur Pembangun Puisi

Guruberbahasa.com/PUISI

Untuk memberikan pengertian yang lebih memadai berikut ini dikemukakan  uraian mengenai unsur-unsur pembangun puisi.  

1) Diksi  

Diksi menurut Sayuti (2002 : 143), merupakan salah satu unsur yang ikut  membangun keberadaan puisi berarti pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair  untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan-perasaan yang bergejolak dan  menggejala dalam dirinya. Sayuti (2002:144), mengatakan seringkali pilihan kata- kata yang tepat dan cermat yang dilakukan penyair dalam mengukuhkan  pengalamannya dalam puisi, membuat kata-kata tersebut terkesan menempel,  tetapi tetap dinamis dan bergerak serta memberikan kesan yang hidup.   


Diksi adalah bentuk serapan dari kata diction diartikan sebagai choice and  use of words. Oleh Keraf (2006:24), diksi disebut pula pilihan kata. Lebih lanjut  tentang pilihan kata ini, ada dua kesimpulan penting. Pertama, pilihan kata atau  diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai  dengan gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan  bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok  masyarakat pendengar. Kedua, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya  dimungkinkan oleh penguasa sejumlah besar kosa kata bahasa itu. 

Diksi atau pilihan kata mempunyai peranan penting dan utama untuk  mencapai keefektifan dalam penulisan suatu karya sastra. Untuk mencapai diksi  yang baik seorang penulis harus memahami secara lebih baik masalah kata dan  maknanya, harus tahu memperluas dan mengaktifkan kosa kata, harus mampu  memilih kata yang tepat, kata yang sesuai dengan situasi yang dihadapi, dan harus  mengenali dengan baik macam corak gaya bahasa sesuai dengan tujuan penulisan.    

2) Pengimajian  

Untuk memberi gambaran yang jelas, menimbulkan suasana khusus,  membuat hidup (lebih hidup) gambaran dalam pikiran dan penginderaan, untuk  menarik perhatian, untuk memberikan kesan mental atau bayangan visual, penyair  menggunakan gambaran-gambaran angan. Gambaran-gambaran angan, gambaran  pikiran, kesan mental atau bayangan visual dan bahasa yanga menggambarkannya biasa disebut dengan istilah citra atau imaji (image). Sedangkan cara membentuk  kesan mental atau gambaran sesuatu biasa disebut dengan istilah citraan  (imagery). Hal-hal yang berkaitan dengan citra ataupun citraan disebut pencitraan  atau pengimajian.  

Menurut Sayuti (2002: 168-169), dalam proses penikmatan (membaca atau  mendengarkan), apalagi pemahaman puisi, kesadaran terhadap kehadiran salah  satu unsur puisi yang menyentuh atau mengguagah indera seringkali begitu  mengedepan. Pengalaman keinderaan itu juga dapat disebut sebagai kesan yang  terbentuk dalam rongga imajinasi yang disebabkan oleh sebuah kata atau oleh  serangkaian kata. Serangkaian kata yang mampu menggugah pengalaman  keinderaan itu, dalm puisi, disebut citraan (Sayuti 2002 : 170)

Oleh penyair imaji diberi peran untuk mengintensifkan, menjernihkan, dan  memperkaya pikiran. Imaji yang tepat akan lebih hidup, lebih segar terasakan,  lebih ekonomis, dan dekat dengan hidup kita sehingga diharapkan pembaca atau  pendengar turut merasakan dan hidup dalam pengalaman batin penyair. Coombes  (dalam Pradopo 2005: 42-43), mengatakan bahwa dalam tangan seorang penyair  yang baik, imaji itu segar dan hidup, berada dalam puncak keindahannya untuk  mengintensifkan, menjernihkan, memperkaya, dan sebuah imaji yang berhasil  menolong orang merasakan pengalaman penyair terhadap objek dan situasi yang  dialaminya, memberi gambaran yang setepatnya, hidup, kuat. Menurut  Alternbernd (dalam Pradopo 2005 : 80), citraan dapat dihasilkan dengan jalan  menampilkan nama-nama, deskripsi-deskripsi, irama-irama, asosiasi intelektual  atau beberapa cara di atas tampil bersama-sama.

Citraan merupakan salah satu sarana utama untuk mencapai kepuitisan.  Maksud kepuitisan itu di antaranya ialah : keaslian ucapan, sifat yang menarik  perhatian, menimbulkan perasaan kuat, membuat sugesti yang jelas, dan juga sifat  yang menghidupkan pikiran.  Citraan merupakan reproduksi mental dalam ujud pengalaman masa lampau  atau kenangan. 

Dalam lapangan kesastraan, terkadang fungsi citraan jauh lebih  penting dari itu karena citraan menampilkan kembali pikiran efek-efek yang  kurang lebih sama dengan apa yang diciptakan oleh rangsangan indera kita.

Citraan menurut Alternbernd (dalam Pradopo 2005: 80), merupakan unsur  yang penting dalam puisi karena dayanya untuk menghadirkan gambaran yang  kongkret, khas, menggugah, dan mengesankan. Citraan juga dapat merangsang  imajinasi dan menggugah pikiran dibalik sentuhan indera serta dapat pula sebagai  alat interpretasi. Supaya pikiran dan perasaan tergugah, maka citraan ditampilkan  dalam dua cara yaitu pelukisan (deskripsi) dan pelambangan (simbol) yang  menemui puncaknya pada metafora secara implisit. 

Oleh karena di dalam puisi diperlukan kekonkretan gambaran, maka ide-ide  abstrak yang tidak dapat ditangkap dengan alat-alat keinderaan diberi gambaran  atau dihadirkan dalam gambar-gambar inderaan. Diharapkan ide yang semula  abstrak dapat ditangkap atau seolah-olah dapat dilihat, didengarkan, dicium,  diraba, atau dipikirkan.   

Sayuti (2002 : 174-175), menyebutkan bahwa citraan dalam puisi terdiri dari  citra visual yang berhubungan dengan indera penglihatan, citra auditif yang  berhubungan dengan indera pendengaran, citra kinestetik yang berhubungan dengan membuat sesuatu tampak bergerak, citra termal atau rabaan yang  berhubungan dengan indera peraba, citra penciuman yang berhubungan dengan  indera penciuman dan citra pencecapan yang berhubungan dengan indera  pencecapan.   

Untuk lebih jelasnya citraan dapat dikelompokkan atas tujuh macam saja.  Pertama, citraan penglihatan, yang dihasilkan dengan memberi rangsangan indera  penglihatan sehingga hal-hal yang tidak terlihat seolah-olah kelihatan. Kedua,  citraan pendengaran yang dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan  bunyi suara atau berupa onomatope dan persajakan yang berturut-turut dan  persajakan yang berturut-turut. Ketiga, citraan penciuman. Keempat, citraan  pencecapan. Kelima, citraan rabaan, yakni citra yang berupa rangsangan- rangsangan kepada perasaan atau sentuhan, keenam, citraan pikiran/intelektual,  yakni citraan yang dihasilkan oleh asosiasi pikiran. Ketujuh citraan gerak  dihasilkan dengan cara menghidupkan dan menvisualkan sesuatu hal yang  bergerak menjadi bergerak.  Bermacam-macam citraan tersebut dalam pemakaiannya kadang-kadang  digunakan lebih dari satu cara bersam-sama untuk memperkuat efek kepuitisan.  Berbagai jenis citraan saling erat terjalin dalam menimbulkan efek puitis yang  kuat.     

3) Kata Konkret  

Kata konkret adalah kata-kata yang digunakan oleh penyair untuk  menggambarkan lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud untuk membangkitkan imaji pembaca. Disini kata-kata konkrit dimaksudkan untuk  ,emyaran kepada arti menyeluruh. Dalam hubungannya dengan pengimajian, kata  konkret merupakan syarat atau sebab terjadinya pengimajian.  Waluyo (1987: 81), mengatakan bahwa dengan kata yang diperkonkret,  dapat membuat seorang pembaca membayangkan secara jelas peristiwa atau  keadaan yang dilukiskan oleh penyair. 

Sebagai contoh dikemukakan oleh Waluyo  (1987: 81) tentang bagaimana penyair melukiskan seorang gadis yang benar-benar  pengemis gembel. Penyair mempergunakan kata-kata; gadis peminta-minta  contoh lainnya, untuk melukiskan dunia pengemis yang penuh kemayaan, penyair  menulis; hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlap / gembira dari  kemayaan ruang. Untuk melukiskan kedukaannya, penyair menulis; bulan diatas  tidak ada yang punya/kotaku hidupnya tak punya tanda. Untuk mengkonkretkan  gambaran jiwa yang penuh dosa digunakan; aku hilang bentuk/remuk.    

4) Bahasa Figuratif  

Bahasa Figuratif oleh Waluyo (1987 : 83), disebut pula sebagai majas.  Bahasa Figuratif dapat membuat puisi menjadi prismatik, artinya memancarkan  banyak makna atau kaya akan makna. Dalam bahasa kiasan, majas yang  mengandung perbandingan yang tersirat sebagai pengganti kata atau ungkapan  lain untuk melukiskan kesamaan atau kesejajaran makna diantara. Disebutkannya  pula bahwa istilah lain dari kiasan adalah metafora. 

Sementara itu, Rachmat  Djoko Pradopo (2005: 61), dalam bukunya pengkajian puisi menyamakan kiasan  dengan bahasa figuratif (figurative language) dan memasukkan metafora sebagai salah satu bentuk kiasan. Dalam pembahasan selanjutnya istilah bahasa figuratif  disamakan dengan bahasa kiasan seperti halnya pendapat Pradopo (2005: 61).  Bahasa figuratif pada dasarnya adalah bentuk penyimpangan dari bahasa  normatif, baik dari segi makna maupun rangkaian katanya, dan bertujuan untuk  mencapai arti dan efek tertentu. Pada umumnya, menurut tarigan, bahasa figuratif  digunakan oleh pengarang untuk menghidupkan atau lebih mengekspresikan  perasaan yang diungkapkan sebab kata-kata saja belum cukup jelas untuk  menerangkan lukisan tersebut. 

Hal ini sejalan dengan pengertian yang dikemukan  Perrine (dalam Waluyo 1987: 616-617), bahwa bahasa figuratif adalah cara  menambah intensitas perasaan penyair untuk puisinya dan menyampaikan sikap  penyair, dan bahasa figuratif adlah cara untuk mengkonsentrasikan makna yang  hendak disampaikan dan cara meyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan  bahasa yang singkat.

5) Versifikasi   

Versifikasi meliputi ritma, rima, dan metrum. Ritma kata pungut dari bahasa  inggris rhythm. Secara umum ritma dikenal sebagai irama atau wirama, yakni  pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan  teratur. Waluyo (1987 : 90), menyatakan rima adalah pengulangan bunyi puisi  untuk membentuk musikalitas dan orkestrasi. Dengan pengulangan bunyi itu,  puisi menjadi merdu jika dibaca. Untuk mengulang bunyi ini, penyair juga  mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini pemilahan bunyi-bunyi  mendukung perasaan dan suasana bunyi. Karena sering bergantung pada pola  matra, irama dalam persajakan pada umumnya teratur.

6) Tipografi   

Menurut Sayuti (2002:329), tipografi merupakan aspek bentuk visual puisi  yang berupa tata hubungan dan tata baris. Dalam puisi, tipografi dipergunakan  untuk mendapatkan bentuk yang menarik supaya indah dipandang mata. Tipografi  merupakan pembeda yang paling awal dapat dilihat dalam membedakan puisi  dengan prosa fiksi dan drama. Tipografi merupakan pembeda yang sangat  penting.   Dalam prosa (baik fiksi maupun bukan) baris-baris kata atau kalimat  membentuk sebuah periodisitet. Namun, dalam puisi tidak demikian halnya.  Baris-baris dalam puisi membentuk sebuah periodisitet yang disebut bait. 

7) Sarana retorika   

Tiap pengarang mempunyai gaya masing-masing. Hal ini sesuai dengan  sifat dan kegemaran masing-masing pengarang. Gaya dapat dikatakan sebagai  “cap” seorang pengarang. Gaya merupakan keistimewaan, kekhasan seorang  pengarang.   Meskipun setiap pengarang mempunyai gaya dan cara tersendiri, ada juga  sekumpulan bentuk atau beberapa macam pola yang biasa dipergunakan oleh  beberapa pengarang. Jenis-jenis bentuk atau pola gaya ini disebut sarana retorika  (rhetorical devices).

Sumber http://www.guruberbahasa.com/

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel