Unsur-Unsur dan Struktur Pembangun Puisi
Friday, July 29, 2016
Guruberbahasa.com/PUISI
Untuk memberikan pengertian yang lebih memadai berikut ini dikemukakan uraian mengenai unsur-unsur pembangun puisi.
1) Diksi
Diksi menurut Sayuti (2002 : 143), merupakan salah satu unsur yang ikut membangun keberadaan puisi berarti pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan-perasaan yang bergejolak dan menggejala dalam dirinya. Sayuti (2002:144), mengatakan seringkali pilihan kata- kata yang tepat dan cermat yang dilakukan penyair dalam mengukuhkan pengalamannya dalam puisi, membuat kata-kata tersebut terkesan menempel, tetapi tetap dinamis dan bergerak serta memberikan kesan yang hidup.
Diksi adalah bentuk serapan dari kata diction diartikan sebagai choice and use of words. Oleh Keraf (2006:24), diksi disebut pula pilihan kata. Lebih lanjut tentang pilihan kata ini, ada dua kesimpulan penting. Pertama, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Kedua, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasa sejumlah besar kosa kata bahasa itu.
Diksi atau pilihan kata mempunyai peranan penting dan utama untuk mencapai keefektifan dalam penulisan suatu karya sastra. Untuk mencapai diksi yang baik seorang penulis harus memahami secara lebih baik masalah kata dan maknanya, harus tahu memperluas dan mengaktifkan kosa kata, harus mampu memilih kata yang tepat, kata yang sesuai dengan situasi yang dihadapi, dan harus mengenali dengan baik macam corak gaya bahasa sesuai dengan tujuan penulisan.
2) Pengimajian
Untuk memberi gambaran yang jelas, menimbulkan suasana khusus, membuat hidup (lebih hidup) gambaran dalam pikiran dan penginderaan, untuk menarik perhatian, untuk memberikan kesan mental atau bayangan visual, penyair menggunakan gambaran-gambaran angan. Gambaran-gambaran angan, gambaran pikiran, kesan mental atau bayangan visual dan bahasa yanga menggambarkannya biasa disebut dengan istilah citra atau imaji (image). Sedangkan cara membentuk kesan mental atau gambaran sesuatu biasa disebut dengan istilah citraan (imagery). Hal-hal yang berkaitan dengan citra ataupun citraan disebut pencitraan atau pengimajian.
Menurut Sayuti (2002: 168-169), dalam proses penikmatan (membaca atau mendengarkan), apalagi pemahaman puisi, kesadaran terhadap kehadiran salah satu unsur puisi yang menyentuh atau mengguagah indera seringkali begitu mengedepan. Pengalaman keinderaan itu juga dapat disebut sebagai kesan yang terbentuk dalam rongga imajinasi yang disebabkan oleh sebuah kata atau oleh serangkaian kata. Serangkaian kata yang mampu menggugah pengalaman keinderaan itu, dalm puisi, disebut citraan (Sayuti 2002 : 170)
Oleh penyair imaji diberi peran untuk mengintensifkan, menjernihkan, dan memperkaya pikiran. Imaji yang tepat akan lebih hidup, lebih segar terasakan, lebih ekonomis, dan dekat dengan hidup kita sehingga diharapkan pembaca atau pendengar turut merasakan dan hidup dalam pengalaman batin penyair. Coombes (dalam Pradopo 2005: 42-43), mengatakan bahwa dalam tangan seorang penyair yang baik, imaji itu segar dan hidup, berada dalam puncak keindahannya untuk mengintensifkan, menjernihkan, memperkaya, dan sebuah imaji yang berhasil menolong orang merasakan pengalaman penyair terhadap objek dan situasi yang dialaminya, memberi gambaran yang setepatnya, hidup, kuat. Menurut Alternbernd (dalam Pradopo 2005 : 80), citraan dapat dihasilkan dengan jalan menampilkan nama-nama, deskripsi-deskripsi, irama-irama, asosiasi intelektual atau beberapa cara di atas tampil bersama-sama.
Citraan merupakan salah satu sarana utama untuk mencapai kepuitisan. Maksud kepuitisan itu di antaranya ialah : keaslian ucapan, sifat yang menarik perhatian, menimbulkan perasaan kuat, membuat sugesti yang jelas, dan juga sifat yang menghidupkan pikiran. Citraan merupakan reproduksi mental dalam ujud pengalaman masa lampau atau kenangan.
Dalam lapangan kesastraan, terkadang fungsi citraan jauh lebih penting dari itu karena citraan menampilkan kembali pikiran efek-efek yang kurang lebih sama dengan apa yang diciptakan oleh rangsangan indera kita.
Citraan menurut Alternbernd (dalam Pradopo 2005: 80), merupakan unsur yang penting dalam puisi karena dayanya untuk menghadirkan gambaran yang kongkret, khas, menggugah, dan mengesankan. Citraan juga dapat merangsang imajinasi dan menggugah pikiran dibalik sentuhan indera serta dapat pula sebagai alat interpretasi. Supaya pikiran dan perasaan tergugah, maka citraan ditampilkan dalam dua cara yaitu pelukisan (deskripsi) dan pelambangan (simbol) yang menemui puncaknya pada metafora secara implisit.
Oleh karena di dalam puisi diperlukan kekonkretan gambaran, maka ide-ide abstrak yang tidak dapat ditangkap dengan alat-alat keinderaan diberi gambaran atau dihadirkan dalam gambar-gambar inderaan. Diharapkan ide yang semula abstrak dapat ditangkap atau seolah-olah dapat dilihat, didengarkan, dicium, diraba, atau dipikirkan.
Sayuti (2002 : 174-175), menyebutkan bahwa citraan dalam puisi terdiri dari citra visual yang berhubungan dengan indera penglihatan, citra auditif yang berhubungan dengan indera pendengaran, citra kinestetik yang berhubungan dengan membuat sesuatu tampak bergerak, citra termal atau rabaan yang berhubungan dengan indera peraba, citra penciuman yang berhubungan dengan indera penciuman dan citra pencecapan yang berhubungan dengan indera pencecapan.
Untuk lebih jelasnya citraan dapat dikelompokkan atas tujuh macam saja. Pertama, citraan penglihatan, yang dihasilkan dengan memberi rangsangan indera penglihatan sehingga hal-hal yang tidak terlihat seolah-olah kelihatan. Kedua, citraan pendengaran yang dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara atau berupa onomatope dan persajakan yang berturut-turut dan persajakan yang berturut-turut. Ketiga, citraan penciuman. Keempat, citraan pencecapan. Kelima, citraan rabaan, yakni citra yang berupa rangsangan- rangsangan kepada perasaan atau sentuhan, keenam, citraan pikiran/intelektual, yakni citraan yang dihasilkan oleh asosiasi pikiran. Ketujuh citraan gerak dihasilkan dengan cara menghidupkan dan menvisualkan sesuatu hal yang bergerak menjadi bergerak. Bermacam-macam citraan tersebut dalam pemakaiannya kadang-kadang digunakan lebih dari satu cara bersam-sama untuk memperkuat efek kepuitisan. Berbagai jenis citraan saling erat terjalin dalam menimbulkan efek puitis yang kuat.
3) Kata Konkret
Kata konkret adalah kata-kata yang digunakan oleh penyair untuk menggambarkan lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud untuk membangkitkan imaji pembaca. Disini kata-kata konkrit dimaksudkan untuk ,emyaran kepada arti menyeluruh. Dalam hubungannya dengan pengimajian, kata konkret merupakan syarat atau sebab terjadinya pengimajian. Waluyo (1987: 81), mengatakan bahwa dengan kata yang diperkonkret, dapat membuat seorang pembaca membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh penyair.
Sebagai contoh dikemukakan oleh Waluyo (1987: 81) tentang bagaimana penyair melukiskan seorang gadis yang benar-benar pengemis gembel. Penyair mempergunakan kata-kata; gadis peminta-minta contoh lainnya, untuk melukiskan dunia pengemis yang penuh kemayaan, penyair menulis; hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlap / gembira dari kemayaan ruang. Untuk melukiskan kedukaannya, penyair menulis; bulan diatas tidak ada yang punya/kotaku hidupnya tak punya tanda. Untuk mengkonkretkan gambaran jiwa yang penuh dosa digunakan; aku hilang bentuk/remuk.
4) Bahasa Figuratif
Bahasa Figuratif oleh Waluyo (1987 : 83), disebut pula sebagai majas. Bahasa Figuratif dapat membuat puisi menjadi prismatik, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Dalam bahasa kiasan, majas yang mengandung perbandingan yang tersirat sebagai pengganti kata atau ungkapan lain untuk melukiskan kesamaan atau kesejajaran makna diantara. Disebutkannya pula bahwa istilah lain dari kiasan adalah metafora.
Sementara itu, Rachmat Djoko Pradopo (2005: 61), dalam bukunya pengkajian puisi menyamakan kiasan dengan bahasa figuratif (figurative language) dan memasukkan metafora sebagai salah satu bentuk kiasan. Dalam pembahasan selanjutnya istilah bahasa figuratif disamakan dengan bahasa kiasan seperti halnya pendapat Pradopo (2005: 61). Bahasa figuratif pada dasarnya adalah bentuk penyimpangan dari bahasa normatif, baik dari segi makna maupun rangkaian katanya, dan bertujuan untuk mencapai arti dan efek tertentu. Pada umumnya, menurut tarigan, bahasa figuratif digunakan oleh pengarang untuk menghidupkan atau lebih mengekspresikan perasaan yang diungkapkan sebab kata-kata saja belum cukup jelas untuk menerangkan lukisan tersebut.
Hal ini sejalan dengan pengertian yang dikemukan Perrine (dalam Waluyo 1987: 616-617), bahwa bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas perasaan penyair untuk puisinya dan menyampaikan sikap penyair, dan bahasa figuratif adlah cara untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara meyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat.
5) Versifikasi
Versifikasi meliputi ritma, rima, dan metrum. Ritma kata pungut dari bahasa inggris rhythm. Secara umum ritma dikenal sebagai irama atau wirama, yakni pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Waluyo (1987 : 90), menyatakan rima adalah pengulangan bunyi puisi untuk membentuk musikalitas dan orkestrasi. Dengan pengulangan bunyi itu, puisi menjadi merdu jika dibaca. Untuk mengulang bunyi ini, penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini pemilahan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana bunyi. Karena sering bergantung pada pola matra, irama dalam persajakan pada umumnya teratur.
6) Tipografi
Menurut Sayuti (2002:329), tipografi merupakan aspek bentuk visual puisi yang berupa tata hubungan dan tata baris. Dalam puisi, tipografi dipergunakan untuk mendapatkan bentuk yang menarik supaya indah dipandang mata. Tipografi merupakan pembeda yang paling awal dapat dilihat dalam membedakan puisi dengan prosa fiksi dan drama. Tipografi merupakan pembeda yang sangat penting. Dalam prosa (baik fiksi maupun bukan) baris-baris kata atau kalimat membentuk sebuah periodisitet. Namun, dalam puisi tidak demikian halnya. Baris-baris dalam puisi membentuk sebuah periodisitet yang disebut bait.
7) Sarana retorika
Tiap pengarang mempunyai gaya masing-masing. Hal ini sesuai dengan sifat dan kegemaran masing-masing pengarang. Gaya dapat dikatakan sebagai “cap” seorang pengarang. Gaya merupakan keistimewaan, kekhasan seorang pengarang. Meskipun setiap pengarang mempunyai gaya dan cara tersendiri, ada juga sekumpulan bentuk atau beberapa macam pola yang biasa dipergunakan oleh beberapa pengarang. Jenis-jenis bentuk atau pola gaya ini disebut sarana retorika (rhetorical devices).
Sumber http://www.guruberbahasa.com/